Sejak usia 0-18 tahun saya tinggal di desa. Di desa tempat
tinggal kami hampir semuanya masih alami. Sampai sekarang pun masih terasa
asrinya. Berjarak sekitar 20meter di belakang rumah kami terdapat sungai kecil
dan hamparan sawah yang sangat luas. Menjadi pemandangan menarik dan hiburan
tersendiri bagi kami anak desa.
Saat musim kemarau kami anak-anak desa asyik bermain di
sungai, berlomba-lomba mencari ikan-ikan kecil, dan udang air tawar. Yup,
sepuluh tahun ke belakang sepanjang ingatan saya semuanya masih sangat alami.
Kita bisa dengan mudah menemukan ikan kecil atau udang dibawah batu. Macam
peribahasa saja ada udang dibalik batu hehehe. Kalo sudah lihai dengan tangan
kosongpun kami dapat menangkap udang-udang tersebut. Rasanya bagaimana pada
saat itu? Sungguh, betapa girangnya pada saat itu.
Waktu masih duduk di sekolah dasar aku juga sering ikut
orang tua ke sawah. Iya, karena waktu kecil sebelum ayah beralih profesi
menjadi pedagang beliau menggarap sawah milik kakek. Sawah yang ayah garap
berada di pinggir rel kereta api persis. Aku sudah terbiasa berlari-lari di
pematang sawah, duduk-duduk di pinggir pematang sawah menunggu kereta api
lewat. Pada masa itu kereta api pembawa minyak pun kadang masih ada penumpang
yang nekat naik kereta tersebut. Padahal sudah jelas itu bukan kereta untuk
penumpang. Betapa bahayanya mereka yang nekat naik kereta pembawa minyak tanpa
memikirkan keselamatan mereka sendiri.
Di pinggir pematang sawah biasanya ayah menanam pohon talas.
Hampir setiap petani di desa kami memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami
tanaman lain seperti kedelai,talas, dan kacang panjang. Aku masih ingat, mama
bernah menukar talas dengan beberapa butir telur bebek kepada peternak bebek.
Jika tidak benar dalam mengolah terkadang talas memang terasa gatal. Talas yang
dipanen diolah menjadi aneka makanan. Beberapa contoh olahan talas seperti
keripik talas, gethuk, talas rebus, atau digoreng dan dibumbui gula. Membayangkannya
membuat air liur menetes.
Setelah lulus smk dan
menjadi anak kos (walaupun aku kerja di Puwokerto namun aku tinggal di
kos karena jarak tmpt kerja yang lumayan), aku sudah tidak pernah lagi bermain
ke sawah. Berasal dari desa kemudian menjadi anak kos, aku menjadi anak yang
apa-apa penasaran. Sejak di kos aku suka diajak teman-teman makan makanan yang
sebelumnya tidak pernah aku makan. Seperti burger, kebab, hotdog, dimsum, ayam
krispi yang terkenal itu. Makanan ala-ala barat hampir semua kami cicipi. Lidah
ini menjadi familiar dengan makanan-makanan tersebut, dan sudah jarang sekali
mengecap makanan-makanan tradisional khas desa tempatku tinggal.
Sekitar tiga minggu yang lalu aku bersama suami membeli
keripik talas di swalayan. Satu plastik sedang (dan tidak penuh) harganya Rp.
6.000,-. Rasanya asin, gurih dan sungguh nikmat. Sekali hap langsung habis
keripik tersebut. Ternyata dibuat lauk juga enak. Jadi terngiang-ngiang pengen
membuat keripik talas sendiri. Namun semenjak ayah meninggal dan mama tidak
menggarap sawah lagi, kami sudah jarang menikmati olahan talas. Sepertinya di desa
kami juga sudah mulai jarang petani yang menanam talas. Teman-teman pernah
merasakan seperti saya? Kangen makanan masa kecil..boleh di share ya..