Rabu, 16 Maret 2016

Berhenti menjadi wanita karir

Sebelum bercerita lap dulu pake tisu huhu...


Seperti yang sudah aku ceritakan pada post-post sebelumnya. Beberapa bulan yang lalu aku mengajukan pengunduran diri dari perusahaan tempatku bekerja. Dengan berbagai pertimbangan dan menunggu keputusan final dari perusahaan, akhirnya tanggal 5 Maret 2016 aku resmi resign dari pekerjaanku.

Apa yang dirasakan saat pertama kali resign? Bingung? Pastinya, apalagi setelah resign dari pekerjaan aku langsung di boyong suami ke Banjarnegara. Walaupun dapat ditempuh dalam waktu 2 jam namun tetap saja ya namanya merantau. Lah, yang dulu ingin ikut suami siapa hayo?

Sungguh berat menjadi anak rantau. Yaelah lebay lagi. Tapi emang beneran kok. Di Banjarnegara aku dan suami ngontrak di sebuah komplek perumahan kecil. Selama hampir 6 tahun bekerja di Purwokerto memang aku sudah menjadi anak kos. Dan selama hampir 6 tahun tersebut aku beberapa kali pindah kos.

Setiap kali menempati kos baru selalu ada drama-drama, seperti : belum bisa move on dari kos lama, harus beradaptasi dengan teman-teman baru, dan setiap minggu-minggu pertama kos pasti bawaannya pengen pulang aja trus berangkat kerja dari rumah. Hikz hikz. Tak ubahnya setelah mengontrak di Banjarnegara bersama suami. Apa yang aku rasakan dulu pada saat berkali-kali pindah kos aku rasakan juga sekarang. Bedanya antara dahulu saat kos dengan sekarang adalah sekarang sudah bersama suami dan lebih nyaman tinggal bersama suami.

Aku memang payah dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baru. Jika orang lain mungkin bisa membaur dengan orang baru dalam tempo yang singkat, tidak demikian denganku. Butuh waktu lama untuk dapat berkenalan dan mengobrol dengan nyaman ketika bertemu orang baru. Ini memang salah satu kelemahan ku sejak dulu. Betapa payahnya aku dalam hal bersosialisasi. Dan aku pribadi tidak pandai dalam hal berbasa-basi. Ah betapa repotnya aku dengan kelemahan yang seperti ini. Semoga syndrom menempati tempat baru ini segera bisa teratasi.  -__-

Selasa, 15 Maret 2016

Senja, 14 Maret 2016


Senja, 14 Maret 2016 , disudut rumah kontrakan mungil di Banjarnegara.

Sore hari ditemani rintik-rintik hujan dan beberapa celoteh anak-anak tetangga. Sore itu aku masih terduduk sendiri. Suami masih dalam perjalanan pulang kerja. Ini hari pertama aku ditinggal bekerja suami sejak aku pindah ke Banjarnegara. Aku datang ke Banjarnegara pada hari Jum’at 11 Maret lalu. Setelah hampir dua tahun menikah kami memutuskan untuk tinggal bersama dengan mengontrak rumah. Rumah kontrakan yang kami tempati sekarang terbilang sederhana. Rumah dengan type 36 yang alhamdulillah sangat cukup untuk kami tempati yang masih berdua.

Awal bulan Maret ini aku resmi resign dari perusahaan tempatku bekerja. Alhamdulillah setelah hampir 6 tahun bekerja aku membuat keputusan besar dalam hidup yaitu resign dari pekerjaan dan menjadi ibu rumah tangga. Berat kah?

Awal-awal peralihan dari seorang wanita karir menjadi ibu rumah tangga sungguh amatlah berat. Lebay ya? Tapi memang begitu yang aku rasakan. Rutinitas setiap hari yang bangun pagi lalu berangkat bekerja dan berkutat dengan pekerjaan selama 8 jam berubah 180 derajat. Kini waktu ku setiap hari hampir ku habiskan dirumah.
Pada saat masih bekerja aku memang mempunyai usaha sambilan. Berjualan pulsa elektrik dan jilbab. Kenapa aku memilih berjualan pulsa? Karena selain mudah dalam bertransaksi, sekarang ini setiap orang membutuhkan pulsa. Aku menjalani usaha sambilan jualan pulsa sejak tahun 2012 silam.

Rencana jangka pendekku setelah resign adalah fokus menekuni usaha pulsa dan rencana jangka menengah ku yaitu mengembangkan usaha jilbab yang sudah hampir 2 tahun ini aku jalani. Rencana yang sudah disusun sedemikian rupa memang tidak berjalan semulus yang ada dalam bayangan. Masih harus banyak melakukan promosi dan memanfaatkan media yang sudah ada. Memang selama aku masih bekerja aku mengerjakan usaha sambilan ini dengan setengah-setengah dan tidak total.

Selain promosi gencar-gencaran, ada hal yang tidak bisa aku lupakan dalam hal menjalani usaha. Yup, kita harus melibatkan Sang Pencipta dalam menjalankan usaha kita. Sore itu aku tertohok sangat keras membaca tulisan Saptuari Sugiharto. Saptuari Sugiharto penggagas komunitas Sedekah Rombongan. Ambulance nya sudah berada dimana-mana. Orang-orang sakit dan membutuhkan di penjuru Indonesia sudah banyak dibantu oleh komunitas ini. Sedekahnya yang fantastis membuat aku iri hati. Ah.. sungguh berkecil hati jika melihat apa yang sudah teman-teman sedekah rombongan lakukan demi menolong banyak orang.

Seperti firman Alloh yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim.”

Ayat tersebut mengingatkan aku betapa aku begitu mengejar duniawi. Melakukan usaha demi mengejar keuntungan, sedangkan di sisi lain aku masih kurang dalam hal bersedekah. Sedekah sedikit di ingat-ingat dan mengharapkan balasan dari Alloh SWT. Mereka saja yang sudah tak terhitung dalam hal bersedekah tidak mengharapkan balasan. Dibalas atau tidak mereka tetap bersedekah. Hendaknya akupun demikian. Bersedekah karena lillah.. bukan mengharap balasan dari Alloh..